Pesta Demokrasi Tanpa Anies
LIPUTANBALI.COM - Kegagalan menjadi RI 1 dalam pesta demokrasi Pilpres 2024 yang digelar 14 Februari lalu, tak meredupkan nama Anies Rasyid Baswedan. Kepintaran dan segudang prestasi Anies dianggap layak sebagai kepala daerah. Dalam pilkada Jakarta yang bakal digelar 27 November, nama Anies sempat muncul karena dianggap moncer selama menahkodai DKI Jakarta 5 tahun lalu periode 2017-2022. Beberapa partai politik awalnya dengan percaya diri mengusung Anies sebagai kandidat calon gubernur Jakarta. Sebut saja PKS. Berbagai upaya dilakukan dalam menarik dukungan partai politik untuk mengusungnya maju pada pilkada Jakarta.
Namun, perkembangan politik memang tidak bisa ditebak. Beberapa partai politik yang sedianya akan mengusung Anies ternyata berbelok arah dukungan. Bekal popularitas dan prestasi yang telah diraih Anies ternyata gagal menjadi magnet bagi partai politik dan tersungkur oleh transaksi politik. Mahkamah Konstitusi (MK) No.60/PUU-XXII/2024 tentang ambang batas pencalonan calon kepala dan wakil kepala daerah di Pilkada Serentak 2024 sedikit membawa angin segar bagi Anies untuk maju sebagai calon gubernur.
Publik menaruh harapan besar kepada PDI Perjuangan yang diuntungkan dengan putusan MK tersebut karena berpotensi dapat mengusung Anies maju dalam kontestasi calon gubernur Jakarta. Namun last minutes, PDI Perjuangan batal mengusung Anies dan cenderung mengusung kadernya sendiri dengan mendaftarkan Pramono Anung dan Rano “Doel” Karno sebagai calon gubernur dan wakil gubernur dari PDI Perjuangan.
Hingga pendaftaran KPU ditutup terdapat tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yaitu pasangan Pramono Anung-Rano Karno yang diusung PDI Perjuangan, pasangan Ridwan Kamil-Suswono yang diusung oleh 14 partai koalisi KIM dan pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana dari calon independen. Gegap gempita pesta demokrasi pemilihan kepala daerah khususnya di Jakarta menjadi sedikit kurang menarik dengan gagalnya Anies Baswedan maju menjadi salah satu kandidat.
Kegagalan berlayarnya Anies dalam pilkada Jakarta sebenarnya “diperlukan” untuk membangunkan Anies dari kasur empuk bernama popularitas dan melihat realitas politik bahwa dalam sistem sistem ketatanegaraan di Indonesia, partai politik memegang peranan sangat penting dalam mengusung kandidat calon kepala daerah. No Partai No Party!
Keindahan cerita pada pilkada DKI Jakarta tahun 2017 dan pilpres 2024 biarkan masuk pada album kenangan. Bukan berharap momentum berulang karena semua partai menghitung peluang sebab karena “hutang” ataupun “terkekang” bahkan ujung-ujungnya “uang”.
Menakar sentimen positif yang ada, garis idiologis Anies lebih cocok bergabung dengan PKS atau dengan PKB yang pada Pilpres lalu paling tidak terbangun chemistry yang positif dengan beberapa petinggi PKB khususnya dengan Cak Imin. Idealkah langkah tersebut? Ibu Megawati telah menjawabnya, beliau tidak mau mengulangi kesalahan yang sama.
Mungkin kekhawatiran akan adanya dua matahari dalam ketatasuryaan suatu partai bisa saja terpikirkan oleh PKS, PKB, atau mungkin Nasdem sehingga nostalgia popularitas yang dialami Bu Mega menjadi cermin buram bagi ketiga tersebut. Momentum yang dilewatkan oleh Anies Baswedan. Tak ada jalan lain bagi Anies selain membentuk suatu partai dan biarkan publik menilai popularitas & elektabilitas bersifat melekat atau hanya sekedar make up untuk mempercantik tampilan.
Penulis : Rommy Edward Pryambada – Pemerhati Politik dan Keamanan Publik
Komentar