Media Berita Online Bali Terkini, Kabar Terbaru Bali - Beritabali.com

Prosesi ‘Mediksa’ Sang Juru Dalang Sekaligus Mantan Wartawan

foto : Oke

KARANGASEM - Sulinggih, sebelum memimpin sebuah upacara, ia terlebih dahulu harus melaksanakan upacara Madiksa yang juga disebut dengan ‘Divya jnyana.’ Lantas apa saja syarat mediksa tersebut? Bagaimana rangkaian upacara dan prosesi adatnya? Dan seperti apa perjalanan hidup sang juru dalang yang juga mantan wartawan Nusa ini? Mengapa kini di usia senjanya ia justru memilih untuk menjadi  seorang sulinggih?

Namanya I Nengah Becik, laki – laki berambut putih dan berpakaian serba hitam itu, begitu ramah menyambut  wartasan ketika datang berkunjung ke kediamannya di Banjar Belimbing(Dusun Kangin) Desa Tohpati, Klungkung Selasa(27/6) lalu.

Siang itu, di kediamannya terlihat begitu ramai, dipenuhi warga sekitar yang tengah sibuk mempersiapkan berbagai perlengkapan untuk keesokan harinya. Di Bale Agung yang terletak di sisi tengah halaman rumah, terlihat beberapa orang, tengah sibuk berbincang – bincang mengenai rangkaian acara.

Disisi lain, dengan senyum sumringah pria yang sempat bergelar Jero Mangku Penyarikan Dadya Kayu Selem Tohpati, Klungkung ini pun bercerita tentang karirnya di dunia jurnalis.  “Memang, di tahun 1980 an saya sempat aktif sebagai jurnalis di media cetak.

Dulu, menjalankan profesi wartawan tidak semudah sekarang yang serba instan dan cepat. Untuk menulis berita harus menggunakan mesin tik dan tulisan - tulisan itu dikirim ke kantor dengan bantuan kurir atau post,” ujar  calon Sulinggih yang akan bergelar Sri Empu Jro Gede Kayu Selem, Tohpati ini.

Dunia jurnalistik baginya begitu amat berkesan dan menyenangkan. “Tentu sangat menyenangkan, kami yang angkatan tua begitu tangguh di tengah keterbatasan kami bia bertahan dan memberikan yang terbaik,” ungkapnya mengenang masa lalu.

Selain mantan wartawan, laki – laki kelahiran 31 desember 1956 ini juga di kenal sebagai juru dalang. Bergelar Jero Mangku Penyarikan Dadya Kayu Selem Tohpati ketika menjadi Juru Dalang di tahun 1978. Membuatnya begitu dikenal di dunia budaya dan seni. Tak hanya itu, jiwa seninya juga tercermin dalam dunia seni tari.

“Saya memang sangat tertarik di bidang seni dan budaya. Cukup lama berkecimpung menikmati seni dalang wayang, akhirnya saya juga mulai coba – coba bejar menari. Sampai akhirnya saya sangat berminat menekuni tari topeng sidhakarya. Dan sampai hari ini pun kalau ada kesempatan untuk menari saya akan dengan senang hati menarikan tarian itu,” paparnya.

                                         

Tak hanya itu, karirnya di bidang pemerintahan pun begitu gemilang dijalankanya. Terbukti di tahun 2011 Ia sempat menjabat sebagai Kepala Dinas Koperasi, Usaha Kecil Menengah, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Klungkung. Namun, dengan jejak karir yang begitu luar biasa, mengapa kini di usia senjanya ia justru memilih menjadi seorang sulinggih? Baginya perjalanannya ini merupakan sebuah perjalanan tanpa direncanakan dan tak terduga.

“Bagi saya ini semua merupakan sebuah kejutan. Kenapa? Karena terjadi begitu saja, mengalir dan akhirnya sampai disini. Saya sendiri pun tak menyangka. Semua yang terjadi benar – benar di luar rencana,” ungkapnya.

Dengan senyum ramah Ia bercerita tentang rencana masa tuanya kemarin. “Ketika pensiun kemarin, rencananya saya ingin berkebun bersama istri. Anak – anak sudah pada besar, kewajiban saya dalam hidup hampir seluruhnya sudah terlaksana. Apalagi yang dicari? Makanya saya berencana berkebun saja untuk kesibukan,” ungkapnya.

Namun yang terjadi justru di luar rencana, ia di dorong oleh masyarakat dan para nabe untuk menjadi seorang sulinggih. “Memang, awalnya saya sering mendapat bisikan untuk ke arah sana (Menjadi sulinggih.red), hal itu berlangsung selama setahun dan terus menerus. Namun saya tidak begitu pedulikan. Semakin ke sini justru semakin banyak warga dan orang – orang terdekat yang mendorong saya ke arah situ. Dorongan itu semakin kuat, akhirnya dengan rasa berserah saya mohon dituntun leluhur, dan prosesnya bergulir hingga hari ini,” paparnya.

Ia mengakui, kegemarannya dalam mendalang sedikit banyak mempengaruhi jalannya di dunia spiritual. “Ketika usia tak lagi muda, saya yakin hampir semua orang akan mulai berfikir kearah spiritual dan agama. Mungkin dari karma saya di kehidupan lalu akhirnya di kehidupan ini saya di tugaskan sebagai pelayan umat,” ungkapnya.

Upacara  Madiksa yang akan di selenggarakan kamis 28 Juli esok akan di pimpin dan di iringi oleh beberapa Nabe. Diantaranya Ida Pandita Mpu Nabe Siwaputra Dharma Dhaksa sebagai Nabe Napak, Ida Mpu Nabe Rekadnyana Sidhanta selaku Nabe Waktra, ada juga Ida Pandita Empu Nabe Maetria Paradarma sebagai nabe saksi. Sesuai dudonan atau jadwal, upacara mediksa akan di gelar pukul 16.00 wita.  wat Sulinggih, Mediksa dan Prosesi Mati Raga Bercermin dari kisah sang juru dalang yang menjadi seorang sulinggih.

Tentu muncul pertanyaan apa sesungguhnya tugas seorang Sulinggih? Dan seperti apa proses yang harus dilewati seseorang untuk menjadi seorang sulinggih? Sulinggih merupakan seseorang yang telah mendapatkan penyucian melalui upacara yang disebut madiksa. Seorang walaka yang telah didiksa mendapatkan kedudukan sebagai sulinggih atau sadhaka.

Apa itu upacara Madiksa? Menurut Sulinggih , Ida Pandita Mpu Nabe Daksa Yaska Charya Manuaba, upacara Madiksa merupakan upacara yang di gelar dengan tujuan menerima sinar suci ilmu pengetahuan yang berfungsi untuk melenyapkan kegelapan pikiran agar mencapai kesempurnaan.

“Tujuan upacara ini agar ia yang menjalani proses mediksa dapat manunggal - kan dirinya kepada tuhan. Dengan cara melewati proses pembersihan atau peleburan. Proses peleburan tersebut dapat dilihat dalam prosesi Mati Raga yang menjadi satu rangkaian dalam upacara mediksa,” ungkap Ida Pandita Charya Manuaba.

Diksa disebutkan berasal dari bahasa Sansekerta dari akar kata ‘di’' dan ‘'ksa’.’'Di’' artinya divya Jnyana atau sinar ilmu pengetahuan, sedangkan ‘'ksa’ artinya ksaya atau melenyapkan, menghilangkan.  Dengan demikian ‘'diksa’' artinya divya jnana atau sinar suci ilmu pengetahuan yang melenyapkan kegelapan atau kebodohan. Prosesi ‘Mati Raga’ adalah sebuah prosesi yang wajib dilakukan oleh seorang diksa.

Hal ini dilakukan ketika ia hendak menjadi seorang Brahmana. Upacara ini akan menyebabkan yang bersangkutan lahir untuk kedua kalinya sebagai seoarang Vipra, Muni atau Sulinggih, dan menyandang gelar kebrahmanaan. mereka yang telah melakukan ritual ini, disebut telah melakukan Dwijati atau secara harfiah berarti lahir untuk kedua kalinya. Pertama lahir dari rahim ibu biologis, kemudian lahir kedua kalinya dari ilmu pengetahuan.

Tujuannya adalah untuk melebur segala kegelapan akibat kurangnya ilmu pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan menyucikan sukma sarira agar mampu menampung ilmu pengetahuan rohani. Mati Raga ini merupakan bentuk usaha sadar yang dilakukan untuk membunuh semua musuh dalam manusia secara total, yakni Krodha, Moha, Mada. (*/Oke)

Komentar