Media Berita Online Bali Terkini, Kabar Terbaru Bali - Beritabali.com

Cerita Wayan Koster, Terpaksa Jadi Buruh Angkut untuk Biaya Sekolah

foto : istimewa

DENPASAR – Semasa kecil, I Wayan Koster tak seperti umumnya anak-anak kebanyakan yang hidupnya serba berkecukupan. Duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), Calon Gubernur Bali ini bahkan menghabiskan sebagian besar waktunya menjadi buruh angkut untuk biaya sekolah.

 Cerita Pria kelahiran Desa Sambiran, Tejakula, Buleleng ini memang tidak banyak tahu. Terlahir dari keluarga sederhana membuatnya harus bekerja sejak usia dini agar tetap survive menopang kehidupan keluarga yang serba memperihatinkan.

Tinggal di rumah sederhana di desanya bersama orang tua, Koster kecil bernaung di rumah yang terbuat dari bedeg berlantai tanah. Waktu itu, kompor pun tidak ada, hanya tungku dari tanah yang selalu dipakai orang tua untuk memasak.

Usai sekolah, bahkan Koster harus menjalani hidup prihatin. Kondisi keluarga memaksanya musti harus bekerja keras untuk meraih apa yang dicita-citakan. Pulang sekolah, dia terpaksa menjadi buruh angkut pasir dan bata untuk  biaya sekolah.

Bahkan Lantaran hidup di tengah kemiskinan, hampir saban hari Koster kecil hanya mengonsumsi umbi-umbian sebagai makanan. Menu makanan babi guking amat istimewa baginya kala itu yang tak tiap hari bisa ia santap. Bahkan, Koster mengaku bisa terhitung jari ia menyantap menu makanan khas lezat tersebut.

"Saya makannya umbi-umbian. Makan babi guling itu kalau ada orang bikin acara. Makan nasi seperti mimpi buat saya. Itu sebabnya perawakan saya kecil begini. Mungkin kalau sekarang saya dibilang kurang gizi atau gizi buruk," ucap Koster berkelakar disambut gelak tawa warga warga di Banjar Tag-Tag Tengah Denpasar.

Pejerjaan sebagai kuli angkut dilakoninya sejak kelas 4 SD di desanya. Pekerjaan ini terpaksa dilakukan  Koster untuk menambah uang sakunya. Uang hasil bekerja dititipkan kepada orangtuanya. Uang itu digunakan untuk membiayai segala keperluan pendidikannya kala itu. Jika ada sisa, sang ibu akan membelikannya selembar baju. Itu pun dibeli saban hari raya Galungan saja.

Itu sebabnya Koster selalu menyayangi segala hal yang diberikan oleh orangtuanya. Bahkan, baju yang dibelikan ibunya tak langsung dikenakan. Ia simpan dahulu dan dipakai jika ada acara tertentu.

"Kelas 4 SD saya mekuli (bekerja) jadi buruh angkut pasir juga angkut bata. Saya jalan angkut-angkut sejauh tiga kilometer," ujar Koster.

Koster kecil sadar jika pendidikan satu-satunya jalan mengubah nasib. Ia belajar begitu giat. Itu sebabnya sejak SD ia selalu menjadi bintang kelas. "Meski miskin saya juara," ujarnya.

Koster kecil nyaris putus sekolah. Beruntung ada pihak yang membantunya melanjutkan sekolah begitu ia lulus SD.

"Lulus SD ada yang bantu saya bisa masuk SMP. Begitu juga lulus SMP saya juga ada yang bantu bisa masuk SMA," katanya.

Di tingkat SMP, Koster satu angkatan dengan Gede Prama di Bhaktiyasa. Bersama tokoh motivator Bali itu ia berpacu dalam prestasi. Kadang kala Koster juara 1 dan Gede Prama juara 3. Namun di lain kesempatan terjadi sebaliknya, Gede Prama juara 1, Koster juara 3. Kebersamaan Koster dan Gede Prama berlanjut hingga tingkat SMA. Hanya saja, Gede Prama mengambil jurusan IPS, sementara calon gubernur yang berpasangan dengan Tjok Oka Artha Ardhana Sukawati itu mengambil jurusan IPA. 

"Begitu lulus SMA saya masuk ITB pada tahun 1981. Saya modal nekat kuliah. Saya sudah siapkan diri sambil kerja untuk membiayai kuliah," jelasnya.

Tahun 1987, Koster muda lulus S1 ITB. Ia kemudian diterima sebagai pegawai honorer di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebagai peneliti. "Tahun 1987 itu saya terima honor Rp60 ribu tiap bulan. Saya nyambi sambil mengajar matematika. Saya senang sekali dengan matematika. Dari honor mengajar saya dapat tambahan uang Rp70 ribu. Ada lebihnya saya kirim ke kampung untuk orangtua dan adik-adik saya," papar dia.

Tak hanya itu, Koster juga mulai membiasakan diri menulis. Hingga suatu ketika naskahnya diterima oleh penerbit untuk dicetak menjadi buku. "Karena tidak punya uang saya berpikir keras cari tambahan. Tapi dari situ saya kemudian jadi senang menulis buku. Waktu itu juga saya sambil berdagang," papar Koster.

Meski bernasib cukup baik, Koster menyesal tak dapat berbuat banyak untuk keempat adiknya yang tak dapat mengenyam pendidikan tinggi seperti dirinya. Dari sana pula Koster begitu serius jika bicara pendidikan, utamanya di DPR RI.

"Empat adik saya tidak ada yang menolong seperti saya. Orangtua saya tidak punya biaya untuk keempat adik saya," tutup Koster. (Tim/Cia)

Komentar